TAWASSUL DITANYAKAN ?
ULAMA’ MENJAWAB
A. Apakah
Pengertian Tawssul Itu?
Tawassul [1]dalam
bahasa artinya perantaraan, yang artinya sama dengan Istigozah, Isti’anah, Tajawwuh, dan Tawajjuh.
Sedangkan menurut istilah tawassul adalah “Al wasilah adalah segala sesuwatu
yang dapat menjadi sebab sampainya pada tujuan.[2]
Yang dimaksud Tawassul:
Tawassul adalah memohon datangnya suatu kemanfaatan atau terhindarnya bahaya
kepada Allah dengan menyebut nama Nabi atau Wali untuk menghormati keduanya.[3]
B. Dasar
Tawassul
1. Al-Qur’an
Dalam surat Al-Ma’idah ayat: 35
disebutkan, yang artinya:
“Hay orang-orang yang beriman
bertaqwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri padanya, dan
bersungguh-sungguhlah kamu di jalanya agar kamu beruntung (Al-Ma;idah:35).
Dalam surat Al-nisa’ ayat: 64 yang
artinya:
“Sesungguhnya ketika mereka
menganiyaya dirinya dating kepadamu, lalu memohon ampunan kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha
penerima taubat lagi maha penyayang[4]
(Al-nisa’: 64).
2. Al-Hadits
Dasar dari hadits berikut dikutib
dari hadits riwayat bukhori:
“Dari shohabat Anas, dia
mengatakan: pada zaman Umar bin Khattab pernah terjadi musim pacekklik, ketika
sholat minta hujan umar bertawassul kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul
muthalib: Kemudian Umar berkata Ya tuhan, dulu kami memohon kepadamu dengan
twassul pada Nabimu, maka engkau menurunkan hujan kepada kami, dan kita
(sekarang) memohon kepadamu dengan tawassul kepada paman Nabimu, turunkanlah
hujan kepada kami, Allah pun menurunkan hujan kepada mereka. Hadits riwayat
Bukhori”.[5]
C. Hukum
Bertawassu dan landasan Amaliyahnya
Dari adanya penjelasan
tentang tawassul dan seluk beluknya seperti di atas, maka para ahli hokum
bersepakat untuk mengatakan bahwa hokum bertawassul atau beristigosah kepada
Nabi dan para wali adalah boleh(mubah), dan dianjurkan dalam islam baik
bertawassul kepada mereka yang masih hidup ataupun mereka yang sudah mati, paik
dengan para Nabi maupun orang-orang sholeh[6].
Untuk menguatkan hokum
kebolehan bertawassul kepada orang yang sudah meninggal, disajikanlah komentar
mayoritas ahli hokum Islam, Baik dari kalangan salaf (mutaqoddimin) maupun
khalaf (mutaakhirin), seperti di bawah ini:
1. Imam
Abu Hanifah (80-150 H/699-767M), yaitu perkataan beliau ketika berziarah ke
madinah dan berdiri di hadpan maqom Rasulullah SAW dengan berkata:
“Hai orang termulya di antara
manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridhomu
dan ridhoilah aku dengan ridhomu. Aku merindukan kemurahan darimu, engkaulah
satu-satunya harapan Abu Hanifah.[7]
2. Imam
Malik bin Anas Al-Ashbahaniy (95-179 H/713-795 M). hal ini dapat dilihat dari
kasus dialog antara beliau dengan kholifah Ja’far Al-Manshuriy (476-544
H/1083-1150 M), yaitu sebagai berikut:
“Abu Ja’far Al-Manshur berkata
kepada Imam Malik: Hai Abu Abdillah apakah aku akan menghadap kiblat dan
berdo’a ataukah aku menghadap Rasulullah SAW?. Beliau menjawab mengapa engkau
memalingkan wajahmu dari beliau Rasulullah SAW, sedangkan beliau hanyalah
sebagai wasilah bagi kamu dan wasilah ayah kamu Nabi Adam AS, sampai hari
qiamat. Arahkanlah wajah kamu kepada beliau, memohonlah syafa’at kepada Allah
dengan cara bertawassul dengan beliau, sehingga Allah akan memberikan syafa’at
dan mengabulkan do’a kamu.Allah telah berfirman “sesungguhnya ketika mereka
menganiaya dirinya dating kepadamu, lalu memohon ampunan kepada Allah dan
Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentu mereka menemukan Allah maha menerima
taubat lagi maha penyayang (An-nisa’: 64).[8]
3. Imam
Syafi’iy (150-204 H/767-819 M). Hal ini dapat dilihat dari peyataan beliau
"Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi maqomnya dengan
berziarah setiap hari, jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat dua
raka’at, lalu aku datangi maqom beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah
di sisi maqomnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabulkan.[9]
4. Sufyan
bin uyainah(198 H/813 M) berkata: Ada dua laki-laki saleh yang dapat menurunkan
hujan dengan cara bertawassul dengan mereka, yaitu Ibnu Ajlan dan Yazid bin
Jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Ma’shum Zaein, Muhammad, MA. TERYATA AKU ORANG NU?, (Jombang, Darul
Hikmah,2008).
Tulisan
ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun : 7 januwari 2015
Nomer
telefon : 081555906438
Imail : najmalfalah@yahoo.co.id
[1]Ma’luf,Louia,
Al-Munjid fi allughah wa Al-A’lam, (Beirut, Maktabah Dar Al-Masyriq, 1986),
hal: 900.
[2] Ibnu Katsir,
Abu Al-Fida’I Isma’il bin Umar, Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim, Juz: II, (Bairut,
Maktabah Dar Al-Fikr,1987),hal:50.
[3]Al-Haroriy,
Abdullah Al Hafidz, Syarkh Al-Qowim,(Beirut, Maktabah Dar Al-Masyariy, 1999),
hal: 378.
[4]Ibnu Katsir,
Juz:I hal:492.
[5]Bukhori, Shaheh,
Hadits indeks nomor:954.
[6]Al-Nabhaniy,
Syaikh Yusuf bin Islami, Syawahid Al-haq, (Makkah, Maktabah Al-Ashriyyah,
tth.), hal: 158.
[7]Al-hasaniy,
Sayyid Muhammad Al-Maliki, Al-Ziyarah Al-Nabawiyyah, (Makkah Al- Mukarromah,
Maktabah Al-Auqaf wa Al-Syu’un, tth.), hal:56.
[8]Mustadrah
Al-Hqim, Juz:II, hal:615 dan Al-baihaqiy, Dalail Al-Nubuwwah, Juz: v, (Beirut,
Maktabah Dar Al-Fikr,tth.),hal:489.
[9]Al-Bagdadiy,Al-Hafidz
Abi bakrAhmad bin Ali, Tarikh Al-Baghd, Juz:I, (Beirut,Dar Al-kutub
Al-Arabiyyah,tth.), hal:123.
[10]Ahmad bin Hambal
(164-241 H/781-855 M), Al-I’lal wa Ma’rifah Al-Rijal, Juz:I, Hal:76.
No comments:
Post a Comment