BILAL JUM’AH
A. Bilal Shalat Jum’ah dan Bacaanya
Setiap
mendengar kata “bilal”, konitasinya
tentu pada nama seorang shahabat Nabi Muhammad SAW. Ia kekasih Rasulullah,
bertugas untuk mengumandangkan adzan setiap shalat. Akan tetapi yang di maksud
Bilal disini bukanlah Bilal mu’addin Rasul, tetapi orang yang tugasnya sebagai
komando dan penyambung suara imam saat hendak melaksanakan shalat jum’ah atau
berkhutbah, yang dalam istilah fiqih dikeenal dengan sebutan “muballigh”, yaitu
orang yang menyampaikan pesan khotib kepada para jamaah.
Hal
tersebut bisa dilihat setiap hari jum’ah ketika imam hendak melaksanakan bacaan
khutbah, dimana bilal menyampaikan kepada para jamaah jum’ah dengan menggunakan
kalimat-kalimat yang memang khusus dipakai untuk dibaca.
B.
Hukum
Bilal Shalat Jum’ah dan Landasan Amaliyahnya
Dari
penjelasan tentang posisi Bilal dalam shalat jum’ah seperti itu, maka hokum
bilal menyampaikan kata-kata tersebut dianjurkan sebagaimana yang dianjurkan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya, riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah
sesungguhnya dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabdah: Apabila kamu berkata
kepada temanmu padahal imam sudah membaca khutbah, maka sungguh sia-sia jum’ah
mu. Hadits riwayat Muslim dan lainnya.[1]
Dari hadits inilah,
para ahli hokum islam berkomentar seperti yang termaktub didalam kitab-kitab
sebagai berikut:
1. Kitab
I’anah al-Tholibin,yait:
Bilal memanggil untuk
shalat jama’ah seperti berlaku dalam shalat-shalat sunnah: shalat hari raya,
tarawih, witir, dan shalat gerhana, biasanya ia memanggil jama’ah dengan
kata-kata “ash-shalaah” atau halumma ila ash-shalaah (mari shalat). Dan kurang
tepat (makruh) bilal memakai kata-kata “haya ala shalah”.[2]
Sebab Nabu Muhammad SAW
bersabdah: siapa berbicara bahasa arab, maka itu tercatat sebagai dzikir. Oleh
karena itu, Bilal biasanya memakai bahasa arab.[3]
2. Kitab
Nihayah Al-Zain, yaitu:
Bilal diadakan pada
setiap dua rakaat shalat tarawih. Bilal berlaku juga untuk shalat sunnah yang
tidak disunnahkan berjamaah (tetapi biasanya dilaksanakan dengan jamaah,
seperti shalat duha). Sedangkan shalat sunnah yang tidak di sunnahkan berjamaah
dan dijalankan sendiri-sendiri, tentu tidak memerlukan bilal.[4]
Seorang imam ketika
membaca takbir intiqol (takbir untuk perpindahan rukun shalat, misalnya dari
berdiri keruku’, dari ruku’ ke syujud), disunnahkan bersuara keras.demikian
pula bilal (Muballigh) ketika ia menyampaikan aba-aba. Hal ini mengandung
meksud untuk berdzikir dan agar dapat didengar ma’mum lain, jika tidak,
shalatnya batal.[5]
DAFTAR
PUSTAKA
Muslim, Abi
Hasan bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairiy Al-Naisaburiy, Al-Jami’ Al-Shahih,
Juz: II, (Beirut, Dar Al-Fikr, tth.).
Al-Banteniy,
Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Ali Al-Nawawiy, Nihayah Al-Zaain Fi rsyad
Al-Mubtadi’in, (Bandung, CV, Ma’arif, tth.).
Tulisan
ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun : 26 januari 2015
Nomer
telefon : 081555906438
Imail : najmalfalah@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment