ULASAN TENTANG PUJIAN-PUJIAN
SEBELUM SHALAT JAMA’AH
A. Pujian Sebelum Shalat Berjama’ah
Pujian berasal dari bahasa jawa
yang artinya sanjungan hamba kepada Allah SWT, lalu dijadikan istilah khusus
kaum nahdliyyin yang biasanya dilakukan setelah adzan sebelum shalat berjama’ah
dilakukan. Jadi yang dimaksud pujian adalah membaca dzikir atau sya’ir
sanjungan hmba kepada Allah SWT secara bersama-sama sebelum shalat berjama’ah
dilakukan.
Dalam perakteknya biasanya kaum nahdliyyin biasanya
menggunakan kalimat-kalimat pujian itu dalam bentuk:
1.
Lantunan shalawat Nabi dengan beragam
nasyidnya.
2.
Ungkapan kalimat dalam bentuk ajaran
atau pesan moral para kekasih Allah (seperti Walisongo), sekalipun berbahasa
jawa asli.
Hal ini dilakukan karena ingin
memanfaatkan waktu, dari pada mereka mengobrol yang tidak ada gunanya untuk
menanti datangnya imam jama’ah. Apalagi waktu yang sebentar ini merupakan waktu
yang istimewa, sebab disinggung oleh Naabi Muhammad SAW dalam hadisnya.
B. Hukum Pujian Sebelun Shalat Dan
Dasar Amaliahnya
Berpijak pada isi bacaan dalam
pujian itu berupa shalawat dan nilainya banyak mengandung nilai Islamiyah dan
mengandung mauidhah hasanah, apalagi membacanya pada waktu istimewa, maka hokum
mengamalkan pujian-pujian sebelum melaksanakan shalat berjama’ah
diperbolehkan(mubah), bahkan sunnah, sebab memuji kepada Allah merupakan suatu
anjuran yang harus dilakukan kapan saja dan dimanapun saja, tanpa ada batas.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi sebagai berikut:
1.
Hadis riwayat An-Nasa’I yang artinya:
“Dari
sa’id bin Al-Musayyab, beliau berkata; pada suatu saat Umar berjalan bertemu
Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah sya’ir indah di Masjid, lalu
Umar menegurnya, namun Hasan menjawab: Aku telah melantunkan sya’ir di masjid
yang di dalamnaya ada orang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian ia
menoleh kepada Abu Hurairah, Hasan melanjutkan perkataanya, bukankah kamu telah
mendengar sabda Rasulullah SAW, jawablah dariku, Yaa Allah mudah –mudahan
engkau menguatkanya dengan ruh Al-Quddus, lalu Umar berkata Yaa Allah benar
(aku telah mendengarnya)”.[1]
2. Hadis
riwayat Anas yang artinya:
“Kami
meriwayatkan dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Do’a yang
dipanjatkan antara adzan dan iqomah tidak akan ditolak”.[2]
Dari hadis inilah para ahli hokum Islam, khususnya
kaum nahdliyyin berkomentar seperti di dalam kitab sebagai berikut:
1.
Kitab Al-Adzkar yang artinya:
Ketahuilah
bahw dzikir dicintai pada setiap keadaan kecuali pada keadaan yang dikecualikan
oleh syara’.[3]
2. Kitab
bughyah Al-Mustassyidin yang artinya:
“Dzikir
sebagaimana membaca Al-Qur’an jelas disunnahkan dengan dalil shorihnya ayat dan
hadis, dan mengeraskan suara dzikir itu boleh selama tidak dikhawatirkan riya’
dan tidak mengganggu orang sholat.[4]
3. Kitab
Tanqih Al-Qoul yang artinya:
“Semua
dipandang bahwa dzikir keras lebih bermanfaat, dalam sebuah hadis dinyatakan
“Rasul memerintahkan setiap orang untuk mengambil yang terbaik dan lebih
bermanfaat.[5]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Nasa’iy, Abu
Abdurrahman bin Ali bin Sya’aib bin Sinan bin Bahr Al- Khurasaniy Al-Qadliy,
Sunan Al-Nasa’iy, Juz: II, (Beirut, Dar Al-Fikr, tth).
Al-Nawawiy,
Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah
Dar Al-Hidayah, tth).
Al-Masyhur,
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Al-Mustarsyidin,
(Surabaya, Maktabah Ahmad bin Nabban, tth).
Al-Banteniy,
Muhammad Nawawiy bin Umar, Tanqih Al-Qoul Al-Hatssis, Bughyatul
Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Salim bin sa’d bin Nabbaniy, tth).
Tulisan
ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun : 13 januwari 2015
Nomer
telefon : 081555906438
Imail : najmalfalah@yahoo.co.id
[1]Al-Nasa’iy,
Sunan…., Op, Cit, Hadis Indek Nomor:709.
[2]Al-Nawawiy,
Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah
Dar Al-Hidayah, tth),hal: 39.
[3]bid, hal:12.
[4]Al-Masyhur,
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Al-Mustarsyidin,
(Surabaya, Maktabah Ahmad bin Nabban, tth), hal: 48.
[5]Al-Banteniy,
Muhammad Nawawiy bin Umar, Tanqih Al-Qoul Al-Hatssis, Bughyatul
Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Salim bin sa’d bin Nabbaniy, tth), hal:36.
No comments:
Post a Comment