January 13, 2015

ULASAN TENTANG PUJIAN-PUJIAN SEBELUM SHALAT JAMA’AH



ULASAN TENTANG PUJIAN-PUJIAN SEBELUM SHALAT JAMA’AH

A.    Pujian Sebelum Shalat Berjama’ah
Pujian berasal dari bahasa jawa yang artinya sanjungan hamba kepada Allah SWT, lalu dijadikan istilah khusus kaum nahdliyyin yang biasanya dilakukan setelah adzan sebelum shalat berjama’ah dilakukan. Jadi yang dimaksud pujian adalah membaca dzikir atau sya’ir sanjungan hmba kepada Allah SWT secara bersama-sama sebelum shalat berjama’ah dilakukan.
Dalam perakteknya biasanya kaum nahdliyyin biasanya menggunakan kalimat-kalimat pujian itu dalam bentuk:
1.      Lantunan shalawat Nabi dengan beragam nasyidnya.
2.      Ungkapan kalimat dalam bentuk ajaran atau pesan moral para kekasih Allah (seperti Walisongo), sekalipun berbahasa jawa asli.
Hal ini dilakukan karena ingin memanfaatkan waktu, dari pada mereka mengobrol yang tidak ada gunanya untuk menanti datangnya imam jama’ah. Apalagi waktu yang sebentar ini merupakan waktu yang istimewa, sebab disinggung oleh Naabi Muhammad SAW dalam hadisnya.
B.     Hukum Pujian Sebelun Shalat Dan Dasar Amaliahnya
Berpijak pada isi bacaan dalam pujian itu berupa shalawat dan nilainya banyak mengandung nilai Islamiyah dan mengandung mauidhah hasanah, apalagi membacanya pada waktu istimewa, maka hokum mengamalkan pujian-pujian sebelum melaksanakan shalat berjama’ah diperbolehkan(mubah), bahkan sunnah, sebab memuji kepada Allah merupakan suatu anjuran yang harus dilakukan kapan saja dan dimanapun saja, tanpa ada batas. Hal ini berdasarkan hadis Nabi sebagai berikut:
1.      Hadis riwayat An-Nasa’I yang artinya:
“Dari sa’id bin Al-Musayyab, beliau berkata; pada suatu saat Umar berjalan bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah sya’ir indah di Masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan menjawab: Aku telah melantunkan sya’ir di masjid yang di dalamnaya ada orang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah, Hasan melanjutkan perkataanya, bukankah kamu telah mendengar sabda Rasulullah SAW, jawablah dariku, Yaa Allah mudah –mudahan engkau menguatkanya dengan ruh Al-Quddus, lalu Umar berkata Yaa Allah benar (aku telah mendengarnya)”.[1]
2.      Hadis riwayat Anas yang artinya:
“Kami meriwayatkan dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqomah tidak akan ditolak”.[2]
Dari hadis inilah para ahli hokum Islam, khususnya kaum nahdliyyin berkomentar seperti di dalam kitab sebagai berikut:
1.      Kitab Al-Adzkar yang artinya:
Ketahuilah bahw dzikir dicintai pada setiap keadaan kecuali pada keadaan yang dikecualikan oleh syara’.[3]
2.      Kitab bughyah Al-Mustassyidin yang artinya:
“Dzikir sebagaimana membaca Al-Qur’an jelas disunnahkan dengan dalil shorihnya ayat dan hadis, dan mengeraskan suara dzikir itu boleh selama tidak dikhawatirkan riya’ dan tidak mengganggu orang sholat.[4]
3.      Kitab Tanqih Al-Qoul yang artinya:
“Semua dipandang bahwa dzikir keras lebih bermanfaat, dalam sebuah hadis dinyatakan “Rasul memerintahkan setiap orang untuk mengambil yang terbaik dan lebih bermanfaat.[5]

DAFTAR PUSTAKA
Al-Nasa’iy, Abu Abdurrahman bin Ali bin Sya’aib bin Sinan bin Bahr Al- Khurasaniy Al-Qadliy, Sunan Al-Nasa’iy, Juz: II, (Beirut, Dar Al-Fikr, tth).
Al-Nawawiy, Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah Dar Al-Hidayah, tth).
Al-Masyhur, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Ahmad bin Nabban, tth).
Al-Banteniy, Muhammad Nawawiy bin Umar, Tanqih Al-Qoul Al-Hatssis, Bughyatul Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Salim bin sa’d bin Nabbaniy, tth).

Tulisan ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun            : 13 januwari 2015
Nomer telefon                  : 081555906438
Imail                                 : najmalfalah@yahoo.co.id




[1]Al-Nasa’iy, Sunan…., Op, Cit, Hadis Indek Nomor:709.
[2]Al-Nawawiy, Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah Dar Al-Hidayah, tth),hal: 39.
[3]bid, hal:12.
[4]Al-Masyhur, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Ahmad bin Nabban, tth), hal: 48.
[5]Al-Banteniy, Muhammad Nawawiy bin Umar, Tanqih Al-Qoul Al-Hatssis, Bughyatul Al-Mustarsyidin, (Surabaya, Maktabah Salim bin sa’d bin Nabbaniy, tth), hal:36.

No comments:

Post a Comment