BERSALAMAN SETELAH SHALAT
A. Salaman Setelah Shalat
Salaman (istilah jawa) artinya
adalah berjabat tangan dan dalam islam di kenal dengan istilah mushafahah. Hal
ini sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin setiap kali bertemu dengan sesame
muslim sehingga menjadi budaya yang sulit di tinggalkan, bahkan dilakukan pula
pada saat mereka selesai melaksanakan kewajiban shalat, sebab meshafahah
merupakan suatu tindakan yang dianjurkan dalam Islam. Sekalipun demikian, yang
dipersoalkan disini adalah bagaimana hokum bersalaman setelah melaksanakan
shalat?
B. Hukum Salaman setelah Shalat dan
Dasar Amaliyahnya
Berpijak pada tindakan terbatasnya
salaman atau berjabatan tangan diantara kaum muslim maka hokum berjabatan
tangan (salaman) setelah melaksanakan kewajiban shalat adalah sunnah dengan
syarat:
1.
Laki-laki dengan laki-laki.
2. Perempuan
dengan perempuan.
3.
Laki-laki dengan perempuan yang masi
mahrim.
Apalagi masalah berjabatan tangan, tidak ada
kaitanya dengan amaliyah sholat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW sebagai
berikut:
“Dari Barra’ bin Azib beliau
berkata: Rasulullah SAW bersabda “tidak ada dianggab bertemu diantara dua orang
lelaki, lalu keduanya berjabatan tangan kecuali diampuni dosanya sebelum mereka
berdua berpisah. HR Ibnu Majah.[1]”.
Berdasarkan hadis inilah para ahli
hukum Islam berkomentar bahwa berjabatan tangan (salaman, istilah jawa) setelah
melakukan shalat adalah sunnah, sekalipun perbuatan tersebut termasuk bid’ah
hasanah, sebagaimana komentar-komentar mereka yang tertuang kitab-kitab sebagai
berikut:
1.
Kitab Al-Majmu’, yaitu:
Pendapat yang banyak dipilih jika jabat tangan itu
dilakukan saat sebelum shalat itu hukumnya boleh-boleh saja, kalau berjabat
tangan itu dilakukan jauh sebelum shalat itu dilakukan maka itu yang dianjurkan
karena berjabat tangan ketika bertemu itu disunnahkan. Para ulama’ sepakat
tentang ini karena ada hadis shoheh tentang perkara tersebut.[2]
2. Kitab
Tanwir Al-Qulub, yaitu:
Disunnahkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
laki-laki, perempuan dengan perempuan. Haram hukumnya berjabat tangan itu dilakukan
dengan lain jenis yang bukan muhrimnya tanpa adanya satir.[3]
3. Kitab
Al-Futuhat Arrabbaniyyah, yaitu:
Berjabat tangan yang sudah menjadi teradisi
masyarakat setelah shalat berjama’ah, Syekh Hamzah Al-Nasyiriy berpendapat
bahwa hal itu disunnahkan secara shalat fardhu secara mutlak, sebab secara hukum
shalat itu merupakan keghaiban, oleh karena itu hokum yang jelas dan tidak
jelas itu dipertemukan.[4]
4. Kitab
Al-Fatawa Al-Nawawiy, yaitu:
Berjabat tangan hukumnya sunnah ketika bertemu.
Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukanya setelah dua shalat
itu maka dianggab bid’ah mubahah.[5]
5. Kitab
Bughyah Al-Musytarsyidin, yaitu:
Bersalaman
itu termasuk bid’ah yang mubah, dan Imam Al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang
baik. Tetapi hendaknya diperinci antara orang yang sebelum shalat sudah bertemu,
maka salaman itu hukumnya mubah (boleh). Dan jika sebelumnya tidak bersama
(tidak bertemu), maka dianjurkan salaman setelah salam. Karena salaman itu
disunnahkan ketika bertemu.[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Nawawiy,
Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah
Dar Al-Hidayah, tth).
Ibnu Majah, Abu Abdillah
Mihammad bin Yazid bin majjah Al-Rab’iy Al-Qazwaniy, Sunan Ibnu Majah, Juz: I,
(Beirut, Dar Al-Fikr, tth).
Al-Kurdiy,
Syaikh Muhammad Amin, Tanwir Al-Qulub fii Mu’amalati ‘Allam Al-Ghuyub,
(Surabaya, Maktabah Dar Al-Ikhya’ tth.).
Al-Shiddiqiy,
Muhammad bin ‘Allan, Al-Futtuhat Arrabbaniyah ‘Ala Al-Adzkar Al-Nawawiyyah,
Juz: V, (Beirut Dar Al-Fikr, 1978).
Al-Athar,
Al-Syaikh ‘Ala’uddin, Fatwa Al-Imam Al-Nawawi Al-Musammatu bi Al-Masa’il
Al-Mantsurati, (Kairo, Maktabah Dar Al-Salam, tth.).
Al-Masyhur,
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyah Al-Mustarsyidin, (Surabaya,
Ahmad bin Nabhan, tth.).
Tulisan
ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun : 18 januwari 2015
Nomer
telefon : 081555906438
Imail : najmalfalah@yahoo.co.id
[1]Ibnu Majah,
Sunnah…., OP, Cit, Hadis Indek Nomor: 3693.
[2]Al-Nawawiy,
Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya Al-Syarf, Al-Adzhar-Nawawiy, (Surabaya, Maktabah
Dar Al-Hidayah, tth),hal: 470.
[3]Al-Kurdiy,
Syaikh Muhammad Amin, Tanwir Al-Qulub fii Mu’amalati ‘Allam Al-Ghuyub,
(Surabaya, Maktabah Dar Al-Ikhya’ tth.), hal:199.
[4]Al-Shiddiqiy,
Muhammad bin ‘Allan, Al-Futtuhat Arrabbaniyah ‘Ala Al-Adzkar Al-Nawawiyyah,
Juz: V, (Beirut Dar Al-Fikr, 1978), hal: 397.
[5]Al-Athar,
Al-Syaikh ‘Ala’uddin, Fatwa Al-Imam Al-Nawawi Al-Musammatu bi Al-Masa’il
Al-Mantsurati, (Kairo), Maktabah Dar Al-Salam, hal:61.
[6]Al-Masyhur,
Bughyatul….., Op, Cit, hal: 50-51.
No comments:
Post a Comment