January 25, 2015

PEMBAHASAN BILAL JUM’AH



BILAL JUM’AH

A.    Bilal Shalat Jum’ah dan Bacaanya
Setiap mendengar kata “bilal”, konitasinya tentu pada nama seorang shahabat Nabi Muhammad SAW. Ia kekasih Rasulullah, bertugas untuk mengumandangkan adzan setiap shalat. Akan tetapi yang di maksud Bilal disini bukanlah Bilal mu’addin Rasul, tetapi orang yang tugasnya sebagai komando dan penyambung suara imam saat hendak melaksanakan shalat jum’ah atau berkhutbah, yang dalam istilah fiqih dikeenal dengan sebutan “muballigh”, yaitu orang yang menyampaikan pesan khotib kepada para jamaah.
Hal tersebut bisa dilihat setiap hari jum’ah ketika imam hendak melaksanakan bacaan khutbah, dimana bilal menyampaikan kepada para jamaah jum’ah dengan menggunakan kalimat-kalimat yang memang khusus dipakai untuk dibaca.
B.     Hukum Bilal Shalat Jum’ah dan Landasan Amaliyahnya
Dari penjelasan tentang posisi Bilal dalam shalat jum’ah seperti itu, maka hokum bilal menyampaikan kata-kata tersebut dianjurkan sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya, riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah sesungguhnya dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabdah: Apabila kamu berkata kepada temanmu padahal imam sudah membaca khutbah, maka sungguh sia-sia jum’ah mu. Hadits riwayat Muslim dan lainnya.[1]
Dari hadits inilah, para ahli hokum islam berkomentar seperti yang termaktub didalam kitab-kitab sebagai berikut:
1.      Kitab I’anah al-Tholibin,yait:
Bilal memanggil untuk shalat jama’ah seperti berlaku dalam shalat-shalat sunnah: shalat hari raya, tarawih, witir, dan shalat gerhana, biasanya ia memanggil jama’ah dengan kata-kata “ash-shalaah” atau halumma ila ash-shalaah (mari shalat). Dan kurang tepat (makruh) bilal memakai kata-kata “haya ala shalah”.[2]
Sebab Nabu Muhammad SAW bersabdah: siapa berbicara bahasa arab, maka itu tercatat sebagai dzikir. Oleh karena itu, Bilal biasanya memakai bahasa arab.[3]
2.      Kitab Nihayah Al-Zain, yaitu:
Bilal diadakan pada setiap dua rakaat shalat tarawih. Bilal berlaku juga untuk shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah (tetapi biasanya dilaksanakan dengan jamaah, seperti shalat duha). Sedangkan shalat sunnah yang tidak di sunnahkan berjamaah dan dijalankan sendiri-sendiri, tentu tidak memerlukan bilal.[4]
Seorang imam ketika membaca takbir intiqol (takbir untuk perpindahan rukun shalat, misalnya dari berdiri keruku’, dari ruku’ ke syujud), disunnahkan bersuara keras.demikian pula bilal (Muballigh) ketika ia menyampaikan aba-aba. Hal ini mengandung meksud untuk berdzikir dan agar dapat didengar ma’mum lain, jika tidak, shalatnya batal.[5]


DAFTAR PUSTAKA
Muslim, Abi Hasan bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairiy Al-Naisaburiy, Al-Jami’ Al-Shahih, Juz: II, (Beirut, Dar Al-Fikr, tth.).
Al-Banteniy, Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Ali Al-Nawawiy, Nihayah Al-Zaain Fi rsyad Al-Mubtadi’in, (Bandung, CV, Ma’arif, tth.).


Tulisan ini diposkan oleh: Najmal Falaq
Tgl./Bulan/Tahun            : 26 januari 2015
Nomer telefon                  : 081555906438
Imail                                 : najmalfalah@yahoo.co.id

                                           


[1] Muslim, dalam Shahih…..,Op,Cit, Juz:I Hal:3.
[2] Al-Dimyati, I’anatu…., Op, Cit, Juz:I, Hal:233-234
[3] Ibid, Hal:154
[4][4] Al-Banteni, Nihayah Al-Zain….., Op,Cit, Hal:95.
[5] Ibid, Hal:141.

No comments:

Post a Comment